Kamis, 01 Maret 2012

Penggerak untuk Rakyat

“Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”

Masihkahkah kita ingat penggalan kalimat Pembukaan (Preambule) UUD 45 diatas, ataukah sudah mulai melupakan amanat dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Bukankah disetiap upacara bendera selalu dibacakan preambule UUD 1945 dengan suara lantang, -meskipun di alinea selanjutnya mulai mengendur dan terdengar pelan- di barisan upacara bendera. Ya, itulah tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Gradasi yang semakin signifikan dalam menjalankan amanat rakyat, hari ini semakin terlihat. Negara –mulai dari pusat hingga daerah- seharusnya mampu menjalankan mandat yang diberikan oleh bangsanya. Bukan sebaliknya, hanya memberikan kekerasan dan teror bagi bangsanya.

Bangsa Indonesia yang lahir melalui momentum Sumpah Pemuda 28 oktober 1928, merupakan suatu titik klimaks kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki bangsa ini. Komitmen yang mengantarkan mereka untuk menyatakan bertanah satu, berbangsa satu dan menjunjung bahasa persatuan Indonesia. Apalagi yang diragukan dari bulatnya komitmen yang dimufakati pemuda pada saat itu? Tidak ada alasan untuk kita yang masih memiliki semangat juang, untuk tidak turut serta dalam menjalankan amanat bangsa Indonesia. Terutama mencerdaskan kehidupan bangsa. Terlalu sombong untuk kita tidak mengajarkan ilmu yang kita miliki agar bisa bermanfaat untuk orang lain. Terlalu picik jikalau kita hanya memikirkan berapa upah yang kita dapatkan setelah kita memberikan pengajaran (ilmu).

Bukan, bukan hal itu yang diajarkan bapak-bapak pendiri bangsa (founding fathers) kita di masa yang lampau. Bukankah dr. Sutomo dkk yang mendirikan organisasi Budi utomo pada 20 Mei 1908, memiliki cita-cita mulia untuk menyadarkan pribumi dari ketertindasan. Penjajahan akibat politik etis yang diterapkan Pemerintah Belanda pada waktu itu. Semakin membawa kondisi rakyat pribumi bodoh, miskin, terbelakang dan tertindas.

Kemudian menapak tilasi perjuangan ulama-ulama yang mendirikan perguruan-perguruan Islam sebagai bentuk perlawanan terhadap perbudakan. Perjuangan Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa sebagai sekolah formal pribumi pertama di Nusantara. Sehingga akhirnya, mampu mempersatukan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945 dan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945. Lalu, apalagi alasan kita untuk tidak ikut serta membangun pendidikan bangsa yang memiliki sejarah besar ini. “Karena setiap orang adalah guru, guru dimasa kebangunan” itulah pesan yang disampaikan Presiden Soekarno dalam membangun karakter bangsa (national character building).

Kondisi yang terjadi
Birokrasi pemerintah (Negara) baik melalui kementerian atau dinas-dinas yang terkait akan masalah ini, seharusnya bukan menjadi penghalang untuk kita bisa menjalankan amanat rakyat, terutama mencerdaskan kehidupan bangsa. Aturan yang berbelit-belit, cenderung memperlemah pergerakan pendidikan kepada rakyat. Manipulasi data merupakan agenda rutin para perangkat-perangkat negara yang terkesan ‘tidak mau rugi’ dengan anggaran yang digelontorkan untuk pendidikan sebesar 20%. 
Setidaknya ada 116 warga dari 5 RT di Desa Tanjungan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang yang masih “menderita” buta aksara. Meskipun data dari dinas terkait menyatakan bahwa jumlah “penderita” buta aksara di daerah ini sudah tuntas atau bebas. Ketika saya bersama kawan-kawan yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa (GEMA) Kebangsaan yang terdiri dari sebelas Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Banten melakukan survey lapangan, ternyata data yang diperoleh sangat mengejutkan. Berbeda jauh dengan data dari pemerintah -dalam hal ini- dinas terkait. (Kabar Banten, Kamis (16/2))

Lalu, apa sebenarnya tugas dari pemerintah? Apakah mereka hanya bertugas mendata masyarakat yang memerlukan bantuan pendidikan, kemudian digeneralisir dan diklaim sudah berhasil? Ini yang harus dicermati oleh kaum-kaum terdidik yang terlalu nyaman dengan fasilitas yang mencukupi di daerahnya. Sementara daerah-daerah terpencil, hanya dianggap sebagai masyarakat “pelengkap” sehingga tidak pernah menjadi prioritas pembangunan SDM.

Kearifan Lokal (Local Wisdom) dari suatu daerah, justru terjaga dalam kelompok masyarakat terkecil di dalam lingkungan Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW). Bagaimana melihat budaya gotong royong sebagai jatidiri bangsa, azas kekeluargaan yang menjadi warisan leluhurnya, selalu dijaga sampai saat ini oleh masyarakat terpencil, sangat berbeda dengan individualisme yang semakin menerpa, akibat dampak pengaruh modernisasi yang tidak berdasarkan pada jatidiri bangsanya.
Sebagai contoh, lihat bagaimana Suku Baduy di pedalaman Lebak yang menjadi laboratorium budaya di Banten, Indonesia bahkan dunia. Mereka yang tidak mau diterpa modernisasi dengan masuknya budaya-budaya asing yang belum tentu cocok dengan budaya asli mereka, sebisa mungkin diminimalisir guna terciptanya keseimbangan antara manusia dan alam yang berjalan beriringan. Akan tetapi apa yang dilakukan pemerintah dengan menjadikan Suku Baduy sebagai kawasan wisata budaya? Jika kita cermati ketika suatu budaya disandingkan dengan kata wisata, sederhananya budaya tersebut menjadi objek perekonomian yang mendongkrak pajak dari wisatawan yang datang. Seperti Kementerian budaya dan pariwisata (Kemenbudpar), yang dalam reshuffle kabinet tahun kemarin dirubah menjadi Kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif (KemenPEK). Sedangkan budaya, dikembalikan sesuai “kodrat”nya yaitu dengan mengembalikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dimana pendidikan merupakan proses pembentukan pola pikir (budaya) bangsa. 

Fenomena korupsi yang saat ini menjadi perbincangan di tataran elite, sebenarnya tidak terlalu berpengaruh untuk rakyat yang selalu menjadi tameng elit dengan jargon berjuang demi rakyat. Bagaimana tidak, terbukti atau tidak elit-elit itu melakukan korupsi, rakyat hanya menjadi penonton para elit yang saling cerca, egois (mementingkan diri sendiri) dan serakah. Lalu, kalau memang elit-elit itu terbukti korupsi dan mengembalikan uang miliaran hingga triliunan rupiah kepada Negara, apakah rakyat bisa lebih baik lagi nasibnnya? Itu yang harus kita cermati, apabila kita masih memiliki komitmen untuk terangkatnya harkat dan martabat hidup rakyat yang ekuivalen dengan tegaknya kedaulatan rakyat di bangsa ini.

Meningkatnya jumlah sarjana, magister, doktor hingga professor tidak terlalu berdampak signifikan terhadap peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di tataran nasional maupun daerah, terlebih di wilayah terpencil. Pembangunan SDM berkarakter yang selalu dikampanyekan, hanyalah menjadi jargon kosong, terbukti orang-orang yang memiliki titel pendidikan tinggi tidak bisa menjadi teladan untuk masyarakat. Mungkin, warisan penjajahan Belanda yang kurang lebih 350 tahun menjajah Tanah Air menjadi karakter yang sulit dihilangkan. Orang-orang yang subjektif, selalu berburuk sangka dan saling melecehkan satu sama lain, menjadi cerminan orang-orang terdidik di republik ini.

Peran Mahasiswa
Peran mahasiswa sebagai agent of change dan agent of control hanya menjadi jargon kosong belaka, apabila hanya diisi teriakan dalam menyikapi fenomena yang terjadi di tataran elit. Tugas civitas akademika yang termaktub dalam Tridharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, penelitian dan pengabdian pada Masyarakat, seharusnya menjadi landasan terbangunnya program dan kegiatan yang dilakukan mahasiswa.
Terbukti ketika mahasiswa hanya bergerak dalam tataran politik, dengan melakukan demonstrasi kepada pejabat atau elit yang dianggap tidak pro rakyat. Menggalang mahasiswa hanya untuk menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi yang seolah-olah peduli terhadap nasib rakyat, tidak jarang melakukan aksi sporadis hingga anarkis sebagai bentuk soliditas mereka kepada rakyat, meskipun akhirnya terjadi perpecahan dalam komunitas yang dibangunnya sendiri, akibat kepentingan masing-masing kelompok.

Padahal ada banyak yang dapat dilakukan mahasiswa, tidak hanya peduli kepada pejabat dan elit yang sering di demo. Implementasi Tridharma Perguruan Tinggi sebagai suatu sistem proses, sebenarnya dapat menghasilkan suatu karya yang bermanfaat untuk masyarakat. Dengan ilmu yang dimiliki, pemahaman yang mumpuni, dan kepedulian untuk mengabdi merupakan jawaban atas kebingungan mahasiswa membangun masyarakat. Karena rakyat tidak butuh demonstrasi, membakar ban bekas, merusak pagar kantor pemerintah atau pun menyandera kendaraan dinas ber-plat merah. Meskipun tidak bisa sepenuhnya disalahkan di dalam sistem yang tidak sesuai dengan budaya bangsa.

Apa yang harus dilakukan?
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini, seharusnya membuka mata hati dan nurani kita sebagai anak bangsa. Segenap lapisan masyarakat mulai dari pejabat, elit, stakeholder, mahasiswa, hingga dosen, semestinya dapat memformulasikan jawaban atas semua permasalahan yang terjadi. Gotong royong dari seluruh lapisan masyarakat, bersikap objektif, tidak berburuk sangka dan tidak melecehkan merupakan suatu bentuk keinginan yang baik (good will) diantara mereka untuk dapat bermusyawarah –diluar birokrasi yang berbelit- secara kekeluargaan.
Pemerintah dan pemangku kebijakan seharusnya dapat bekerjasama dengan masyarakat, tanpa alur birokrasi berbelit yang saat ini masih menjadi penghambat terjalinnya tali silaturahmi antara rakyat dan pejabat. Apakah se-eksklusif itu sehingga pemimpin-pemimpin rakyat yang seharusnya berdiri setengah langkah didepan rakyat, menjadi tidak terjangkau oleh rakyat yang merindukan sosok pemimpin yang peduli terhadap nasib rakyatnya. An sich, hanya ketua RT dan RW yang benar-benar mengenal dan memahami kebutuhan rakyatnya. 

Rakyat tidak butuh banyak janji, tidak perlu kata-kata manis yang seolah-olah menjamin kehidupannya di negeri Gemah Ripah loh Jinawi ini. Rakyat hanya butuh penggerak untuk turut serta membangun kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai amanat konstitusi. Dan disinilah peran pemimpin menjadi ruh kebangkitan dan semangat rakyat yang selalu dibodohkan dengan sistem yang tidak berlandaskan jatidiri bangsanya. Sudah saatnya para pemimpin rakyat dapat memberikan teladan, menjadi penggerak dan pendorong bangkitnya gotong royong sebagai jatidiri bangsa. Sehingga dapat terjalin silaturahmi antara pemimpin dan rakyatnya, saling mengerti dan memahami apa yang harusnya dilakukan, tidak hanya mementingkan kelompoknya sendiri. Persaudaraan kita tidak hanya berdasarkan ikatan darah, akan tetapi berdasarkan komitmen dan cita-cita membangun bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. 

Rakyat hanya butuh perhatian pemimpin-pemimpin yang menjalankan amanat, menjadi teladan, menggerakkan dan mendorong rakyatnya dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud.

KABAR BANTEN, Senin 27 Februari 2012

FAISAL TOMI SAPUTRA
Koordinator Gerakan Mahasiswa (GEMA) Kebangsaan, Banten

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons